MENDULANG EMAS MERAH NTB DENGAN PENYELAMATAN TERNAK SAPI/KERBAU BETINA PRODUKTIF
Oleh : Muhammad Yani,S.Pt,M.Si.
Emas merah (daging) adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi. Daging dapat diolah dengan cara dimasak, digoreng,dipanggang, disate, diasap, atau diolah menjadi produk lainnya yang menarik seperti sosis, dendeng dan abon. Oleh karenannya, daging dan hasil olahannya merupakan produk-produk makanan yang unik.
Saat ini untuk memenuhi kebutuhan daging nasional pemerintah akan melakukan import sapi indukan sebanyak 50.000 ekor senilai 1,3 Triliun Rupiah, penambahan ini dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian swasembadah daging sapi. Memang telah banyak hal yang dilakukan sebagai upaya meningkatkan populasi ternak (Sapi/Kerbau) dalam negeri diantaranya kegiatan inseminasi buatan, gertak birahi, panen massal pedet, penumbuhan usaha komersil peternakan secara kawasan maupun melalui sekolah peternakan rakyat (SPR), dan lain-lain.
Provinsi NTB sendiri secara nasional, merupakan salah satu daerah yang mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap pencapaian swasembadah daging, dimana dengan program NTB BSS telah mampu menyediakan sumber bibit dan ternak potong yang rata-rata 12 ribu ekor pertahun untuk didistribusikan di 18 Provinsi di Indonesia.
Populasi sapi NTB dari tahun ketahun cenderung meningkat, walaupun peningkatannya belum begitu maksimal, sementara untuk ternak kerbau cenderung turun setiap tahunnya. Peningkatan populasi dapat dilakukan bila jumlah sapi/kerbau betina yang produktif semakin banyak, saat ini diduga populasi sapi/kerbau betina produktif cenderung menurun dari tahun ketahun akibat pemotongan yang tidak terkendali baik di RPH/TPH maupun di lakukan oleh masyarakat. Padahal sejak jaman Hindia Belanda telah dilakukan pelarangan terhadap pemotongan sapi/kerbau betina produktif. Pelarangan tersebut juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan tersebut belum dikenai sangksi sehingga implementasinya di lapangan tidak efektif.
Tahun 2009 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah pemotongan betina produktif, pada pasal 85 dan pasal 86 undang-undang tersebut bagi orang yang melanggar larangan ini diancam sanksi administrative berupa denda sedikitnya Rp. 5 Juta dan ketentuan pidananya dengan pidana kurungan paling singkat 3 bulan kurungan, akan tetapi kenyataan ini dilapangan menunjukan bahwa pemotogan betina produktif masih banyak terjadi dan sulit dikendalikan.
Pemerintah Provinsi NTB sendiri dalam memperkuat Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 dan untuk mencegah menurunnya populasi khusunya ternak besar ruminansia maka telah dibuat Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang pengendalian pemotongan ternak ruminasia besar betina produktif. Perda ini dibuat bertujuan untuk mempertahankan ketersediaan bibit dan mempertahankan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai gudang ternak nasional serta memantapkan koordinasi dan sinkronisasi program kegiatan antara pemerintah daerah dan pihak terkait dalam pelaksanaan pengendalian pemotongan ternak ruminansia besar betina produktif.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 lebih tegas terhadap sanksi bagi Setiap orang yang melanggar atau melakukan pemotongan betina produktif sebagai mana tertuang pada pasal 25 yang berbunyi Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 11 dan Pasal 16 ayat (1), diancam pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Mengapa ternak betina produktif di potong? Pemotongan ternak betina produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Jagal misalnya, melakukan pemotongan terhadap betina produktif karena : kesulitan mencari sapi/kerbau jantan untuk dipotong karena sapi/kerbau jantan cenderung dijual antar pulau di kota-kota besar; harga sapi/kerbau betina lebih murah dibandingkan sapi/kerbau jantan dengan bobot yang sama; pengawasan dari petugas masih sangat lemah; tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham bila hal tersebut melanggar undang-undang maupun Perda yang berlaku; peternak akan menjual sapi/kerbaunya baik itu sapi/kerbau jantan maupun sapi/kerbau betina produktif manakala membutuhkan dana untuk kebutuhan mendesak misalnya kebutuhan pendidikan dan hari-hari besar keagamaan. Serta Jagal lebih mencari keuntungan jangka pendek sebesar-sebesarnya, artinya bila pemotongan sapi/kerbau betina tidak memberikan keuntungan financial secara nyata, jagal secara sukarela tidak akan pernah memotongnya.
Bila dilihat data jumlah pemotongan ternak ruminansia (sapi dan Kerbau), pemotongan ternak betina produktif di Nusa Tenggara Barat baik terhadap total pemotongan maupun terhadap total betina yang dipotong pada tahun 2015 menurun dibanding dengan pemotongan pada Tahun 2014. Pemotongan betina produktif terhadap betina yang dipotong di NTB yaitu sebesar 14,64% pada tahun 2014 dan sebesar 9,51% pada tahun 2015 dengan rincian sebagai berikut : Pulau Lombok sebesar 10,67% pada Tahun 2014 dan sebesar 7,92% pada tahun 2015 dan Pulau Sumbawa sebesar 14,87% pada tahun 2014 dan sebesar 9,56% pada ahun 2015.
Pengendaliaan pemotongan sapi/kerbau betina produktif dapat dihambat bila kesadaran seluruh pemangku kepentingan yang dimulai dari Peternak itu sendiri, Pedagang, Jagal, Konsumen dan petugas dilapangan dapat ditingkatkan. Instrumennya sudah ada berupa Undang-Undang/Perda namun saat ini masih sulit diimplemntasikan, oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan tambahan yaitu dengan melakukan sosialisasi secara berkelanjutan dengan melakukan pendekatan etika, budaya dan agama dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, ilmuwan dan politisi.