Pupuk Cair Limbah Ternak Peluang Bisnis Pada Era Pandemi
Sejak pemerintah mengumumkan kasus positif coronavirus pada Senin (02/03/2020) yang kemudian disusul kasus-kasus positif covid-19 lainnya, serta pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), membuat dunia usaha mengalami kesulitan.
Ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menilai krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi COVID-19 lebih parah dibandingkan krisis tahun 1998. Sebabnya, transaksi ekonomi atau pertukaran barang dan jasa tidak terjadi karena adanya PSBB. Padahal hal itu merupakan kunci dari aktivitas ekonomi.
“Bisa dibayangkan hal yang paling esensial dari aktivitas ekonomi itu dilarang karena alasan yang benar untuk mengatasi pandemi agar tidak menular, maka yang terjadi aktivitas ekonomi berhenti,” ujarnya.
Salah satu sektor ekonomi yang terdampak COVID-19 yaitu peternakan. Dampak resesi ekonomi karena corona menusuk para peternak. Harga jual ternak mengalami penurunan. Akibatnya para peternak enggan menjual ternaknya. Mereka memilih mengandangkan ternaknya kembali sembari menunggu situasi harga yang bagus untuk melepaskan ternaknya ke pasar. Kalaupun terpaksa menjual karena pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mereka akan merugi.
Turunnya harga jual komoditas ternak, baik sapi, domba, maupun kambing, akibat wabah corona memaksa peternak di Bantul, Yogyakarta, merugi karena tidak bisa menjual ternaknya. “Harga jual ternak hancur. Para peternak merugi karena harga beli dan harga jual tidak sebanding,” kata Rakimin, ketua Kelompok Ternak Mina Ngremboko, Argomulyo, Sedayu, Bantul.
Keluhan anjloknya harga ternak juga disenandungkan para peternak sapi di Karangasem, Bali. Penurunan harga akibat pandemi COVID-19 mencapai 50 persen. Keadaan ini terjadi sejak pertengahan Maret 2020. “Hampir semua peternak di Tanah Barak mengeluh lantaran kesulitan menjual ternak,” ujar Kepala Dusun Tanah Barak, Desa Seraya Timur, Kecamatan Karangasem, I Made Putra.
Biasanya harga seekor sapi di daerah ini Rp 10 juta. Di masa pandemi harganya meluncur jatuh menjadi sekitar Rp 4,5 juta. Begitu juga harga babi. Turun drastis. Para peternak menghadapi dilema antara menjual ternaknya atau tidak. “Kalau tidak dijual mereka kesulitan memenuhi kebutuhan keseharian. Seandainya dijual, harganya terlalu murah,” jelas I Made Putra.
Harga jual sapi di Bantul lebih murah lagi. Harga seekor sapi di Bantul hanya Rp 2 juta – Rp 3 juta. Akibatnya peternak enggan menjualnya.
Sementara itu jumlah pembeli ternak di pasar hewan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, menurun drastis sejak wabah COVID-19 mendera. Hal ini menyebabkan harga hewan ternak turun. Harga sapi turun rata-rata Rp 1 juta per ekor.
Tidak hanya peternak sapi potong yang mengeluh soal penurunan harga yang berpengaruh terhadap turunnya pendapatan. Peternak sapi perah juga mengeluh. Pasalnya, harga jual susu mengalami penurunan hingga 80 persen. Hal ini misalnya dialami oleh peternak sapi perah di Kota Bogor, Jawa Barat. Mereka merasakan imbas dari pandemi dan PSBB yang mengakibatkan turunnya harga jual susu karena minimnya pembeli. “Normalnya saya biasa menjual 400 liter susu per hari, tapi saat ini hanya bisa 50 liter. Artinya pembelian produk susu olahan saya merosot hingga 80 persen,” kata Eky Sulistio, peternak sapi perah asal Kota Bogor.
Selain jumlah permintaan susu yang menurun, harga jual susu juga turun. Harga jual susu per liter di saat normal Rp 8 ribu, sekarang anjlok menjadi Rp 4 ribu per liter. Hal yang sama juga dialami oleh peternak sapi perah di Boyolali, Jawa Tengah.
Peluang bisnis pupuk cair
Bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Kesulitan yang dialami para peternak bisa disulap menjadi kemudahan, bahkan keuntungan. Ternak sapi yang masih ada di kandang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan pupuk cair. Sumber pupuk cair itu berasal dari feses dan urine ternak. Tentu ini merupakan peluang bisnis di era pandemi.
Seekor sapi akan menghasilkan feses sebanyak 8-10 kg dan urine sebanyak 10 liter per hari. Dengan pengolahan sederhana, seekor sapi akan menghasilkan 10 liter pupuk organik cair (POC) setiap harinya. Jika rata-rata HPP (harga pokok penjualan) produksi POC Rp 21.900/liter dan harga jual POC Rp 30.000 – Rp 45.000/liter, maka seekor sapi bisa menghasilkan keuntungan bersih antara Rp 91.000 sampai Rp 231.000 per hari. Tentu ini menjadi penghasilan yang signifikan bagi peternak yang tengah mengalami kesulitan di tengah pandemi saat ini.
Namun selama ini masyarakat, khususnya peternak, menganggap urine sapi merupakan limbah, karenanya urine itu tidak termanfaatkan. Padahal urine sapi bisa dimanfaatkan menjadi pupuk cair yang berkualitas dan bisa diandalkan untuk menggantikan pupuk kimia. Bahkan pupuk organik cair memiliki kandungan hara yang lebih lengkap dibandingkan pupuk kimia. Urine sapi antara lain mengandung unsur hara primer seperti nitrogen 1%, kalium 1,5%, dan fosfor 0,5%. Data penelitian Balittanah Balitbang Kementan menyebutkan bahwa urine sapi memiliki kandungan zat pengatur tubuh seperti IAA. Zat ini bisa meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman.
Pupuk cair yang terbuat dari urine mempunyai aneka manfaaat. Di antaranya memperbaiki kondisi tanah, meningkatkan pertumbuhan, mencegah datangnya hama tanaman, dan menyehatkan lingkungan. Dan yang lebih penting, pemakaian pupuk organik cair tidak akan meninggalkan residu yang berbahaya pada tanaman budidaya sehingga aman dikonsumsi. Tentu saja ini amat dibutuhkan terutama pada kondisi pandemi saat ini.
Di sisi lain, badai pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir, akan menyebabkan krisis pangan seperti disinyalkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Karenanya, jika tidak diantisipasi sejak awal, kriris pangan ini diperkirakan akan mulai terasa pada Mei-Juni 2020. Bahkan bisa berlanjut sampai dua tahun ke depan menjelang situasi global kembali normal (Antaranews.com, 23 April 2020). Sinyal FAO ini mesti diantipasi oleh pemerintah dengan upaya-upaya untuk mempertahankan ketahanan pangan, antara lain melalui penyediaan pupuk yang sangat dibutuhkan oleh petani.
Beruntung, di era pandemi COVID-19 masyarakat Indonesia banyak menggunakan waktunya untuk berkebun, dengan memanfaatkan lahan tersisa di seputar rumah. Bahkan ada yang berkebun dengan sistem hidroponik di teras, atap, atau bagian atas rumah. Selain untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri, khususnya sayuran, aktivitas ini bisa membantu pemerintah mempertahankan ketahanan pangan. Paling tidak di tingkat lokal atau keluarga.
Kegiatan berkebun yang dilakukan untuk mengisi waktu luang di rumah akibat PSBB, tentu saja akan mendorong peningkatan kebutuhan pupuk. Khususnya pupuk cair yang penggunaannya lebih praktis. Dengan kata lain, peluang bisnis pupuk cair berbahan baku urine makin terbuka lebar.
Jadi, sudah saatnya para peternak mulai memproduksi sendiri pupuk organik cair dengan memanfaatkan urine ternak, khususnya sapi. Langkah ini tidak hanya mengatasi kesulitan karena turunnya harga jual ternak. Tapi juga menjadi solusi cerdas meraih keuntungan di era pandemi. (Sinar Tani)