Menjawab Suara NTB saat ditemui di kandangnya, Rabu, 9 September 2020, Amaq Zaki mengutarakan, ia memulai usaha ternak bebeknya ini sejak puluhan tahun silam. Bebek pertama ia pelihara sebanyak 24 ekor dan itupun merupakan pemberian rekannya. Kalau dihargakan kala itu Rp7 ribu/ekor. Setelah sebelas bulan berlalu, alhasil Amaq Zaki didampingi istrinya ini mampu mengembangkan bebeknya menjadi 800 ekor.

Keberhasilan budidaya bebek ini membuat tetangga turut melirik dan ikut mengembangkannya. Saat ini di kampung unggas ini, sudah terdapat 5 ribu ekor bebek. Sehingga tidak heran Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin tahun 2016 silam menobatkan kampung Muhajirin ini sebagai kampung unggas.

Perbandingannya dengan sapi, ucap Zaki yang juga peternak sapi ini menyebut satu ekor pedet dibeli Rp7,5 juta. Selama sebelas bulan, harga jualnya hanya Rp9 juta. Dibanding keuntungan bebek, keuntungan penjualan sapi katanya tidaklah seberapa.

Ditambahkan, pembibitan menjadi bisnis paling menjanjikan dari usaha bebek. Berbekal keahliannya yang mampu mendeteksi sedari awal jenis kelamin bebek, ia bisa memasarkan itik kecil ini ke berbagai tempat dan pengusaha bebek petelur. Per ekor dijual Rp13 ribu. Selama 28 hari, ada 10 ribu ekor bebek yang bisa ditetaskan. Jika dikalkulasi dengan nilai penjualan per ekor, maka bisa dihasilkan Rp130 juta sebulan.

Bebek ini katanya ada beberapa jenis. Bagi yang ingin membuat telur asin, maka pilihanya ada alabio Mojosari. Ada juga jenis Camel dan jenis Peking. “Kalau yang peking ini kulitnya tipis dan kurang cocok untuk telur asin,” terangnya.

Soal telur mentah sendiri dijual Rp65 ribu per trai. Saat ini, dari bebek yang ada Amaq Zaki mengaku bisa mengumpulkan 22-25 trai. Per trai ini berisi 30 butir. Kalkulasi bisnisnya, Rp65 ribu dikali 25 trai maka dalam sehari saja pengusaha bebek ini mampu hasilkan Rp1.625 juta.

Sebenarnya, satu lagi bisnis yang cukup menjanjikan dalam pengembangan bisnis bebek. Yakni membuat telur asin. Amaq Zaki dan istrinya ini memiliki usaha telur oven. Hanya saja karena situasi pandemi ini yang membuat bisnis pengolahan hasil ini tersendat.

Amaq Zaki mengaku hanya bisa membuat 10 trai saja per hari. Sebelumnya bisa dibuat telur oven 100-200 trai. Kapasitas mesin oven yang dibeli seharga Rp6 juta ini bisa 250 butir. Pengovenan butuh waktu hanya satu jam.

Pandemi ini membuat pengusaha telur asin ini tidak bisa membuat banyak-banyak. ‘Masyarakat tidak punya uang,” sebut istri Amaq Zaki menimpali. Daya beli masyarakat selama pandemi ini diakui merosot. Sehingga pengiriman sampai keluar daerah pun menjadi terganggu. Bisnis pengolahan hasil menjadi tidak bisa berjalan.

Berikutnya, disampaikan persoalan limitnya pakan kendala terbesar budidaya bebek. Pakan pokok bebek adalah dedak. Dedak selama ini sangat sulit diperoleh. Dedak dibeli di penggilingan padi ini Rp3 ribu/kg. Lebih sering peternak bebek ini tidak dapat karena sudah dipesan oleh orang.

Kemampuan bertahan bisnis bebek petelur di tengah pandemi ini senada disampaikan Hamzanwadi. Peternak bebek asal Desa Pringgasela ini saat ditemui di kandangnya juga mengaku tidak pernah kesulitan menjual telur bebeknya.

Lagi-lagi katanya hanya pengolahan hasilnya saja yang merosot. Sebelumnya bisa diproduksi 700 butir telur asin per hari, sekarang  maksimal 100 sampai 300 butir saja. “Daya beli rendah,” demikian papar  pengusaha telur asin bakar menambahkan.

Kepala Bidang Pengembangan Usaha Peternakan Disnakeswan Lotim, drh. Suryatman Wahyudi tidak menampik persoalan usaha pengolahan hasil peternakan yaang turut tersendat karena pandemi. Dikatakan tidak saja pengolahan hasil seperti pembuatan telur asin, tapi juga usaha kecil dan mikro lainnya juga turut terganggu selama Covid.

Meski demikian, sektor peternakan ini dinilai paling mampu bertahan. Terbukti waktu krisis moneter 1998 lalu, sektor peternakan paling bisa bertahan. Kegiatan bisnis peternakan ini mampu melewati krisis yang cukup lama. Situasi pandemi saat ini pun diyakini juga akan bisa dilewati para pelaku bisnis peternakan. (Suara NTB)